Semoga segala yang dicita-citakan dapat tercapai.
Kalimat itu kerap sekali terdengar sebagai untaian doa. Betapa terlambatnya aku memahami, kalimat yang terdengar klise namun nyatanya adalah doa. Aku hanya mengamini sekedarnya, dulu. Hingga akhirnya aku sadar, kalimat itu adalah keajaiban. Sebuah energi yang disalurkan melalui doktrin yang terucap. Yang aku cita-citakan, yang aku inginkan. Hal-hal yang aku gantung setinggi langit. Memanjakan imajinasiku mengelilingi dunia. Mengantar keinginanku mencapai perwujudan dari mimpi-mimpi.
Aku mencintaimu.
Dua dibanding sepuluh aku akan benar-benar mengucapkan itu dengan tulus. Atau setidaknya hanya untuk memberi kesenangan atau kelegaan. Tapi aku tidak pernah berbohong untuk mencintai. Kadang aku tidak peduli dengan perbandingan cinta. Aku tidak peduli apabila, semisalnya saja, ternyata dia tidak secinta aku padanya. Aku tidak peduli. Aku mencintainya dari menerjang sinar pagi hingga aku berangkulan dengan lukisan malam.
Jika jodoh, tidak akan kemana.
Di satu sisi aku percaya dengan kalimat ini, namun di sisi lain aku terusik. Jodoh, apakah selalu dipertemukan dalam sebuah kemegahan pelaminan? Atau senyatanya adalah hati terikat hingga pekat? Tapi sungguh, aku percaya pada Tuhan. Dia tidak seiseng itu, mengijinkan sehelai daun menapak bumi. Tuhan juga tidak sebercanda ini untuk membiarkan perasaan mencintai hingga titik terdalam. Tuhan tidak setega itu, membiarkan Adam dan Hawa terpisah beribu tahun dan beratus ribu mil jauhnya. Aku ingin menjadi Hawa yang dipertemukan kembali pada pemilik hatinya.
Kuatkan dirimu dan bersabarlah.
Aku berkali-kali berpikir. Apa yang orang-orang tua tangisi padaku; ayahku, nenek-nenekku, bahkan pembantuku. Tertera jelaskah kesedihanku? Atau tertuliskah bebanku? Dan dengan tepukan di sela pelukan, selalu terselip kalimat "Bersabarlah, nak! Tuhan bersamamu, hati emas." Aku terlalu sibuk mengasihani orang lain, hingga aku lupa mengasihani diriku sendiri. Aku terlalu sibuk menjaga hati orang lain, hingga aku lupa hatiku lebih terluka dari milik siapapun. Kuatkan saja dirimu sendiri, jangan pikirkan aku. Bersabarlah sendiri, jangan kasihani aku. Menjadi aku, tidak semudah yang dibayangkan siapapun. Menjadi kamu, dia, mereka pun akan sama-sama tidak akan semudah yang terlihat. Namun aku tidak menolak untuk bertukar peran, seandainya bisa.
Maaf.
Apa guna dosa jika ada maaf? Bagaimana seharusnya aku menjadi pemaaf? Berlapang hati memaafkan kesalahan. Meredam dendam dan melupakan. Maaf, aku bukan manusia yang dengan mudah memaafkan, apalagi melupakan. Bahkan jika malaikat mencatatku menjadi seorang yang pendendam, aku akan mengiyakan. Tapi aku mohon, catatlah namaku saja. Jangan siapa-siapa. Ah, lagi-lagi aku selalu memikirkan orang lain, tapi tidak dengan diriku sendiri. Aku menertawai diriku sendiri. Seperti sesungguhnya orang lain lakukan juga padaku, di belakangku, bahkan tepat di depanku. Maaf adalah klise yang terulang.
Klise adalah hal yang paling menyakitkan.