Monday, March 11, 2013

Richard Noel Mendez

Hari pernikahanku
Hari ini aku menikah. Luar biasa bahagia. Mimpiku mendampingi pria yang mencintaiku dengan tulus ini, terwujud. Gaun sutra bernuansa gold dan red velvet ini berdampingan dengan jas yang berwarna sama di altar pernikahan. Senyum kami tak henti-hentinya mengembang. Tak jarang juga mata kami saling memandang seolah menyampaikan isi hati kami, aku mencintaimu.
Suamiku. Ya, setelah janji sehidup semati kami ucapkan, sepenuhnya hakku untuk memanggilnya begitu. Dia adalah sosok pria yang mampu mengalihkan segala pandangan mata dan cintaku. Hati ini sudah sepenuhnya miliknya. Dia lebih sering terlihat diam dari ucapannya, tapi tidak dengan pandangan matanya. Dia adalah abdi negara yang membagi hati dan jiwanya untuk negara dan aku. Bukan hal baru ketika aku harus mengalah demi tugasnya. Aku tetap mencintainya.

Satu tahun setelah hari pernikahan kami

Seperti hari-hari kami selama ini, saat matahari menjelang, muncul dengan ditemani embun, aku menyeduh kopi hangat kesukaan suamiku. Disambut dengan pelukan dan kecupannya padaku. Dan bisikan manja yang berhasil meronakan pipiku pagi itu.
"Hey, I know that you love me dear. I do the same. I love you more more more and more." ucapku dalam peluknya. Direbahkanlah aku disampingnya, dipeluk hangat olehnya. Hidupku begitu indah.
"Well honey, how if we going to movie tonight? I really wanna watch a movie with you. Only you and I." aku memohon padanya.
"Sounds good. I think today won't be so busy like yesterday. Tonight, right? 8pm, deal?"
"Deal! Yippiiiiiieeee, I'm going to date tonight! Feel like teenager again. Thank you my prince." aku mengecupnya dan kulihat senyumnya. Sungguh aku tau Tuhan menyayangi kami. Kami sangat bahagia.
"Now, you need to take a bath, or you gonna be late, honey." dan dengan sigap dia berjalan cepat ke kamar mandi, memutar panel shower dan menyiulkan lagu I Will dari The Beatles. Aku masih merebahkan diri, mendengar siulan dan suara air dari shower. Membayangkan kencan kami malam nanti, baju apa yang akan aku kenakan, sepatu dan tas apa yang akan aku pakai. Ah, cepatlah datang, malam.


5pm

"Hey Prince, I love you. We have a date tonight. :)" aku mengirimkan sebuah pesan padanya.
Sembari menunggu waktu jalan kami tiba, aku berbenah diri. Menyetrika pakaian yang akan aku kenakan, menyiapkan clutch bag dan clog heels. Aku merasa muda lagi. Aku merasakan detak jantungku. Deg deg deg deg.


7pm

Suamiku belum juga pulang. Aku menelfon temanku yang kebetulan adalah teman seprofesi suamiku. Dan betul memang kegiatan belum selesai.
Aku sudah berdandan rapi. Menunggu di sofa coklat muda ruang tamu kami. Sambil mendengarkan lantunan lagu dari playlist, aku menunggu suamiku.........hingga tertidur.


11pm

Terdengar suara berisik semacam plastik dan derit pintu. Kubuka mata dan kutegakkan badanku. Memfokuskan pandangan pada seseorang yang bersimpuh dihadapanku, memelukku dan berulang kali mengucap maaf.
Aku tersenyum dan membalas pelukannya "Honey, I dont need any flowers or new dresses or any jewelry or a new car or diamonds. I need your time, only two hours for me. Two hours." kulepas pelukannya, kutersenyum padanya dan berjalan menuju kamar, menanggalkan pakaianku, menghapus make up-ku di meja rias, mencuci mukaku dan kemudian berjalan ke tempat tidur, menarik selimut dan kupejamkan mata. Aku sudah tak bisa menangis karna hal ini. Aku tau suamiku berdiri di pintu melihatku sedari tadi seakan-akan menunjukkan penyesalannya. Aku kecewa, tapi inilah resikonya. Dia abdi negara dan aku pendamping hidupnya.


Tujuh tahun setelah hari itu

"Ibu, aku tidak bisa menghitung dengan baik langkahku dari rumah tadi. Aku terlalu bersemangat berjalan dengan sepatu baruku ini. Maafkan aku." seorang putri cantik berjalan berjinjit di sampingku dengan sepatu hitamnya, menggandengku.
"Memangnya Ibu mewajibkanmu menghitung? Kau hanya perlu menghitungnya untuk mengingat bahwa setiap kau menuju kemari nanti, hitunganmu akan berbeda karna kamu tumbuh, sayang."
Kami pun berhenti di antara sudut taman hijau yang terawat. Di hadapan nisan marmer berwarna putih tulang keemasan terpahat nama dan salam cintaku berwarna red velvet.
"Richard Noel Mendez. I love you in the name of earth and paradise. Our love is everlasting. Your soul and princess. Mendez."
Seperti itulah tulisan yang terpahat. Kekasihku, pergi menunggu kami di surga. Suamiku, sang abdi negara yang gugur dengan meninggalkan kharisma tak terlupakan. Ayah dari putri kami, hanya sempat mengenal 3 tahun tapi sebagian dari jiwa dan raga putriku adalah dirinya.


Jika segala pintaku dikabulkan Tuhan, aku akan memohon kembali pada saat dia hanya sempat di rumah untuk tidur, menyantap masakanku dan menggantikan popok putri kami. Sungguh tak apa bila memang kami tak bisa pergi liburan bahkan hanya membelikan baju putri kami barang hanya dua jam. Aku tetap mencintainya.
Bahkan ketika aku melihat nisannya, aku masih merasakan bagaimana cintanya padaku. Bagaimana setianya aku menunggu.
Tapi Tuhan hanya ingin kami hidup bersama sebagai suami istri untuk 8 tahun. Itu cukup. Surga menantiku, dan kuyakin suamiku menunggu.

Sampai jumpa Richard Noel Mendez. Aku akan sangat merindukan dekapanmu, suara beratmu, siulan pagimu, rayuan manjamu dan segalanya tentang kamu. Aku berjanji hati ini tetap milikmu dan akan kubesarkan putri kita sesuai impian kita.

I love you my Prince. Wait for me.
Your soul.

No comments:

Post a Comment