Terima kasih atas segala kebaikan dan kerendahan hati. Terima kasih atas kasih sayang dan sentuhan yang membuatku lebih berarti. Terima kasih atas kesadaranmu ketika aku jatuh tanpa mengucap sepatah katapun.
Kau kuatkan aku dengan semampumu. Kau tabahkan aku dengan keterbatasanmu. Meski aku bersikukuh berkata aku mampu, kau tetap menerima aku yang rapuh.
Hingga kapan kita akan berjalan di tengah rimba, mencari ujung jalan yang menjadi tujuan. Hingga kapan kau yakin pada dirimu atas usahamu. Dan hingga kapan hatimu akan terus berdegup di sekelilingku.
Kosong. Itu yang kau katakan. Ya, akan akui dengan lantang pada secoret tulisan bahwa aku menatap kosong. Bahwa pundak ini sedang lelah menopang titah. Bahwa tubuh ini bisa kapan saja pasrah.
Tapi, aku tidak mau. Dan kau tau betul itu. Betapa keras kepalanya aku, melawan kegagalan dan ketidakpastian, melawan batas-batas kemampuan. Betapa nekatnya aku, menapaki jalan yang terjal, dengan kau yang hanya ada di dalam dimensi doa.
Mata. Mata ini tidak cukup kuat menipu penilaianmu. Mata ini tidak mampu menipu. Seperti kerlingan, tiap detiknya kita membuat kenangan. Kenangan yang menjadi historical. Dan berharap segalanya kekal tanpa harus ada yang tercekal.
Hati. Satu hal yang pasti tanpa ada basa basi. Dan bodohnya, aku tidak bisa membenci. Meski laranya berkali-kali. Titik terkecilku mengatakan, kau bisa dipercaya. Aura negatifku mencela, kau tidak pantas aku cinta.
Lalu, aku harus bagaimana?